Kamis, 29 November 2018

Makalah Pendekatan Behavioral dan Rasional Emotif dalam Bimbingan Konseling



PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM KONSELING
(PENDEKATAN BEHAVIORAL DAN PENDEKATAN RASIONAL)
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu: Nur Hasanah, M. Pd


Disusun Oleh:
1.         Putri Saraswati               (1710410006)
2.         Siti Zumrotun Ni’mah    (1710410016)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FALKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK  USIA DINI
2018


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup yang bersifat rasional dan juga irasional. Pada hakikatnya manusia itu memiliki kecendrungan untuk berpikir yang rasional atau logis, disamping itu juga ia memiliki kecendrungan untuk berpikir tidak rasional atau tidak logis. Konseling yang merupakan bentuk bantuan secara langsung antara dua orang atau lebih sehingga masalah yang sedang dihadapi oleh konseli dapat terselesaikan sehingga tidak menghalangi konseli dalam meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Di dalam proses konseling, konselor harus menggunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masalah dari konseli. Salah satu dari pendekatan konseling adalah behavioral dan rasional emotif terapi.
Pendekatan-pendekatan dalam bimbingan dan konseling ini merupakan suatu pokok bahasan yang sangat penting untuk dipahami, apalagi kita sebagai calon guru, sudah seharusnya sebagai seorang guru kita harus memiliki banyak keahlian dalam mengajar termasuk juga dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada siswa agar terjalinnya hubungan yang dekat saling terbuka antara guru dan siswa. Oleh karena itulah, secara umum pada makalah ini akan dibahas tentang berbagai macam jenis pendekatan dalam bimbingan dan konseling.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian pendekatan-pedekatan dalam bimbingan dan konseling?
2.    Bagaimana pendekatan behavioral dalam bimbingan dan konseling?
3.    Bagaimana pedekatan rasional dalam bimbingan dan konseling?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendekatan-Pendekatan Bimbingan dan Konseling
Kata Pendekatan terdiri dari kata dasar dekat dan mendapat imbuhan Pe-an yang berarti hal, usaha atau perbuatan mendekati atau mendekatkan. Jadi pendekatan bimbingan dan konseling adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang konselor untuk mendekati kliennya sehingga klien mau menceritakan masalahnya.
Pendekatan konseling merupakan teori yang mendasari sesuatu kegiatan dan praktik konseling. Pendekatan itu dirasakan penting karena jika kita mempunyai pemahaman berbagai pendekatan atau teori-teori konseling, maka akan memudahkan kita dalam menentukan arah proses konseling.[1]
Dalam menguraikan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam bimbingan dan konseling. Lis Haryanti (2009) menyatakan bahwa setiap pendekatan memiliki pandangan yang berbeda tentang sifat manusia, pribadi manusia, kondisi manusia, dan lain-lain. Pandangan tentang manusia ini akan melahirkan konsep dan landasan filosofis mengenai bimbingan dan konseling.[2]
B.     Pendekatan Behavioral dalam Bimbingan Konseling
Gerald Corey menjelaskan bahwa terapi behavioral adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku, pendekatan, teknik, dan prosedur yang di lakukan berakar pada teori tentang belajar. Terapi ini adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, yang di lakukan melaui proses belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Terapi behavional berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dan Skinnerian. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk mengulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat di jelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan perkataan lain bahwa perilaku yang menyimpang bersumber dari belajar atau hasil belajar tertentu. Perilaku tersebut dipandang sebagai respons terhadap stimulasi atau perangsangan exteral dan internal karena itu tujuan terapi adalah untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode S-R sedapat mungkin kontribusi terbesar dan konseling behavioral (perilaku) adalah di perkenalkanya metode ilmiah di bidang psikoterapi. Yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan perilaku.[3]
Sejarah perkembangan dan tokoh-tokoh terapi behavioral, terapi behavioral tradisional di awali pada tahun 1950-an di Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Inggris sebagai awal radikal menentang perspektif psikoanalisis yang dominan. Fokusnya adalah pada menujukan bahwa teknik pengkondisian perilaku yang efektif dan merupakan alternatif untuk terapi psikoanaitik. Tokoh-tokoh terapi behavioral ini adalah BF Skinner Albert Bandura. Merupakan seorang juru bicara berkemuka untuk behaviorisme dan dianggap sebagai bapak dari pendekatan behavioral. Skinner tertarik pada konsep penguatan dan penerapannya dalam dirinya sendiri. Tujuan terapi behavioral memfokuskan pada persoalan-persoalan perilaku spesifik atau perilaku menyimpang yang bertujuan untuk menciptakan kondisi baru bagi proses belajar dengan dasar bahwa segenap tingkah laku itu dipelajari.
Dasar teori terapi behavioral adalah bahwa  perilaku dapat di pahami sebagai hasil kombinasi (1) Belajar waktu lalu dalam hubunganya dengan keadaan yang serupa, (2) Keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan lingkungan, (3) Perbedaan-perbedaan biologik baik secara genetik atau karena gangguan fisiologik. Dengan Eksperimen-eksperimen terkontrol secara seksama maka menghasilkan hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut. Dalam hal ini Skinner walaupun dipengaruhi teori S-R, tetapi dia punya pandangan tersendiri mengenai perilaku. Menurut  Skinner, (1) respons tidak selalu ditimbulkan oleh stimulus, akan tetapi lebih kuat oleh pengaruh reinforcement (penguatan) (2) lebih menekankan pada study subjek individual ketimbang generalisasi kecenderungan kelompok, (3) menekankan pada penciptaan situasi terentu terhadap terbentuknya perilaku ketimbang motivasi.[4] Di bawah ini terlihat skema terbentunya perilaku:





       

            Bagan 1: Skema Teradinya Perilaku Menurut Skinner
            Para konselor behavioral memandang kelainan perilaku sebagai kebiasaan yang di pelajari.
1.    Tujuan konseling behavioral
Tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu klien membuat respons-respons yang lama yang merusak diri, dan mempelajari respons yang baru yang lebih sehat. Tetapi ini berbeda dengan terapi lain, dan pendekatan biasanya ditandai oleh fokusnya perilaku yang tampak dan spesifik, kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, dan penilaian objektif hasil mengenai konseling.  Maka dapat disimpulkan tujuan terapi behavioral adalah untuk memperoleh perilaku baru, mengeleminasi perilaku yang muladatif dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
2.    Hubungan kilen dan konselor
Dalam kegiatan konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan agar konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menentukan masalah-masalah klien sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru. Sistem  dan prosedur konseling behavioral amat terdefinisikan. Klien harus mampu berpartisipasi dalam kegiatan konseling ia harus memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekera sama dalam melakukan aktifitas konseling, baik ketika berlangsung konseling maupun di luar konseling. Dalam hubungan konselor dengan klien ada beberapa yang harus dilakukan  yaitu konselor memahami dan menerima klien, keduanya bekerja sama, dan konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan klien.
3.    Teknik-teknik behavioral
a.    Desentisisasi sistematik (fsytematic desensitization)
Adapun prosedur pelaksanaan antara lain:
1)   Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan.
2)   Menyusun jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan kecemasan dari yang kurang hingga yang paling mecemaskan klien.
3)   Memberi latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki.
4)   Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkanya seperti di pantai, di tengah taman yang hijau dan lain-lain.
5)   Klien disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang kurang mencemaskan, bila klien sanggup tanpa cemas dan gelisah, berarti situasi tersebut dapat diatasi klien. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling mencemaskan.
6)   Bila pada suatu situasi klien cemas dan gelisah, maka konselor memerintahkan klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan kecemasan yang baru terjadi.
b.    Assertive training
Merupakan teknik dalam konseling behavioral yang menitik beratkan pada kasus yang mengalami kesulitan, dan perasaan yang sesuai dalam menyatakannya. Berikut teknik untuk membantu klien:
1)   Tidak dapat menyatakan kemarahanya atau kejengkelanya.
2)   Mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari padanya.
3)   Mereka yang yang mengalami kesulitan dalam berkata “tidak”.
4)   Mereka yang yang sukar menyatakan cinta dan respon positif lainnya.
5)   Mereka yang merasakan tidak punya hak untuk menyatakan pendapat dan pikirannya.
c.    Aversion therapy
Teknik ini bertujuan untuk menghukum perilaku yang negatif dan memperkuat perilaku positif.
d.   Home-work
Yaitu suatu latihan rumah bagi klien yang kurang mampu menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu.[5]
C.    Pendekatan Rasional dalam Bimbingan Konseling
Pendekatan ini dikembangkan oleh Albert Ellis semenjak pertengahan tahun 1950-an. Pendekatan ini dikenal dengan Rational Emotive Therapy (RET). Ellis merupakan seorang ahli yang sangat rajin dalam bekerja memberikna pelayanan psikoterapi, baik secara individual maupun dalam situasi kelompok, dan juga dalam memberi ceramah diberbagai kesempatan disepanjang tahun. RET didasari asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi rasional (berfikir langsung) dan juga irasional (berfikir berliku-liku). Keyakinan irasional itu menyebabkan gangguan emosional. RET tidak memandang hubungan antar pribadi anatara konseli dan konselor sebagai sesuatu yang sangat penting dalam proses terapeutik. Yang penting bagi pendekatan ini adalah keterampilan dan kesediaan konselor untuk menantang, mengkonfrontasikan dan meyakinkan konseli mempraktikan kegiatan (baik di dalam maupun di luar kelompok konseling) yang akan mengarah kepada perubahan yang konstruktif dalam pemikiran dan perbuatan konseli. Dengan demikian, teori ini sangat mengedepankan kemampuan konselor untuk melakukan berbagai upaya untuk mencari berbagai alternatif dalam menantang konselinya untuk sampai pada kesimpulan untuk berubah.[6]
Rasional emotif terapi (RET) dapat dideskripsikan sebagai corak konseling yang menekankan kebersamaan dan reaksi antara berfikir dan akal sehat (rational emotive), berperasaan (emoting), dan berpeilaku (acting). RET merupakan aliran psikoterapi yang berlandaskan bahwa manusia terlahir dengan potensi. Baik untuk berfikir rasional dan jujur maupun untuk berfikir irasional dan jahat.[7] Pemikiran tak logis irasional itu merusak dan merendahkan diri melalui emosionalnya. Ide-ide irasional bahkan dapat menimbulkan neurosis dan psikosis. Sebuah contoh ide irasional adalah: “Seorang yang hidup dalam masyarakat harus mempersiapkan diri secara kompeten dan adekuat, agar ia dapat mencapai kehidupan yang layak dan berguna bagi masyarakat”. Pemikiran lain adalah “Sifat jahat, kejam, dan lain-lain harus dipersalahkan dan dihukum”.[8]
Ellis memandang manusia bersifat rasional dan irasional. Dengan mengoptimalkan kekuatan intelektualnya, seseorang dapat membebaskan dirinya dari gangguan emosional. Unsur utama terapi rasional emotif adalah asumsi bahwa berfikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah. Pikiran dan emosi merupakan hal yang sama. Rasional emotif menekankan pada kebersamaan dan interaksi antara berfikir dan akal sehat, perasaan-perasaan dan perilaku atau tindakan. Dalam pendekatan ini konselor berusaha untuk dapat mengubah cara berfikir, cara berperasaan, dan berperilaku. Dalam mengubah cara berfikir konselor memberikan petunjuk bahwa berfikir yang irasional atas kejadian atau jalan perasaan konseli akan membahayakan dirinya sendiri. Oleh karena itu dengan berfikir yang rasional, maka individu akan dapat beraktivitas yang lain dan tidak memikirkan masalahnya lagi.[9]
1.    Konsep-konsep pokok
Semua teori konseling dikembangkan dari konsep-konsep pokok. Konseling rasional emotif, oleh penemunya disusun dengan beberapa konsep pokok sebagai berikut:
a.    Teori A-B-C
Teori A-B-C tentang kepribadian dan gangguan emosional merupakan unsur yang sangat penting dalam teori dan praktik pendekatan rasional emotif ini. A adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-kesulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal yang dianggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan. B adalah beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita. C adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif sepeti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan kita yang keliru.[10]
b.    Asal mula gangguan emosional
Perasaan cemas, tertekan, ditolak, marah, dan dikucilkan dimulai dan diabadikan oleh sistem keyakinan yang cenderung mengalahkan diri sendiri didasarkan atas dasar gagasan-gagasan irasional yang didekapnya tanpa kritik pada masa kanak-kanak. Apabila orang hidup secara rasional, memiliki keyakinan yang positif, maka mereka akan cenderung merasa bahagia, santai, atau sekurang-kurangnya tenang, sebaliknya apabila orang itu menyembunyikan gagasan-gagasan yang sinis, pesimistik, dan putus asa, maka dia akan cenderung merasa sedih, tertekan dan putus asa.
c.    Mengkonfrontasikan dan menyerang keyakinan yang irasional
Sebagai suatu model konseling kognitif, RET mengajar orang-orang untuk mengkonfrontasikan system keyakinan yang menciptakan gangguan. Tujuan ini akan tercapai dengan menjelaskan bagaimana gagasan-gagasan irasional menyebakan gangguan emosional, dengan menyerang gagasan-gagasan iyu secara ilmiah, dan mengajar konseli tentang bagaimana konseli harus menantang pememikirannya dan tenang bagaimana mengganti gagasan-gagasan irasional dengan yang rasional.
d.   Menilai diri (self rating)
Menurut Elis (1979), kita mempunyai sesuatu kecenderungan yang kuat untuk menilai tindakan dan perilaku kita sebagai “baik” atau “buruk”. Disamping iyu kita mempunyai kecenderungan pula untuk menilai diri kita sendiri sebagai keseluruhan pribadi sebagai “baik” atau “buruk” berdasarkan penampilan kita. Penilaian diri kita itu mempengaruhi perasaan dan tindakan kita, karena proses penilaian ini merupakan salah satu sumber dari gangguan emosional kita. Oleh karena itu, konselor RET mengajar para konselinya tentang bagaimana memisahkan penilaian pribadinya dan mengajar bagaimana mereka menerima dirinya sendiri dengan ketidaksempurnaannya.[11]
2.    Tujuan rational emotive therapy
RET bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan serta pandangan konseli yang irasional menjadi rasional, sehingga konseli dapat mengembangkan diri dan mencapai realitas diri yang optimal. Mehilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri seperti, benci, takut, rasa bersalah, cemas, was-was, marah, sebagai akibat berfikir yang irasional, dan melatih serta mendidik konseli agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai, dan kemampuan diri.[12]
3.    Teknik-teknik RET
Terapi rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, efektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi konseli. Berikut dikemukakan beberapa macam tekniknya, sebagaimana diungkapkan oleh Oemarjoedi (Rusmana, 2009: 55) sebagai berikut:
a.     Teknik-teknik emotif (efektif)
1)   Tenik assertive training, yaitu teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan konseli untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan.
2)   Teknik sosiodrama, yang dipergunakan untuk mengekpresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang didramatisasikan sedemikian rupa sehingga konseli dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan melalui gerakan-gerakan dramatis.
3)   Teknik “self modelling” atau “diri sebagai model” yakni teknik yang digunakan untuk meminta konseli agar “berjanji” atau mengadakan komitmen dengan konseler untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu.
4)   Teknik “imitasi” yaitu digunakan dimana konseli diminta untuk meniru secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.[13]
b.    Teknik-teknik behavioristik
1)   Teknik “reinforcement” (pengaturan), yaitu teknik yang digunakan untuk mendorong konseli ke arah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment (hukuman).
2)   Teknik sosial modeling (pemodelan sosial), yaitu teknik yang digunakan untuk memberikan perilaku-perilaku baru pada konseli.
3)   Teknik live models (model dari kehidupan nyata), yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang komplek dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalah-masalah.
c.    Teknik-teknik kognitif
1)   Home work assignment (pemberian tugas rumah). Dalam teknik ini, konseli diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menurut pola perilaku yang diharapkan.
2)   Teknik assertive, teknik ini digunakan untuk melatih keberanian konseli dalam mengekpresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui role playing atau bermain peran, rehearsal atau latihan, dan sosial modeling atau menirukan model-model sosial.[14]























BAB III
PENUTUP

Simpulan
Pendekatan konseling merupakan teori yang mendasari sesuatu kegiatan dan praktik konseling. Pendekatan itu dirasakan penting karena jika kita mempunyai pemahaman berbagai pendekatan atau teori-teori konseling, maka akan memudahkan kita dalam menentukan arah proses konseling.
Behavioral adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku, pendekatan, teknik, dan prosedur yang di lakukan berakar pada teori tentang belajar. Terapi ini adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, yang di lakukan melaui proses belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
RET didasari asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi rasional (berfikir langsung) dan juga irasional (berfikir berliku-liku). Keyakinan irasional itu menyebabkan gangguan emosional. Teori ini sangat mengedepankan kemampuan konselor untuk melakukan berbagai upaya untuk mencari berbagai alternatif dalam menantang konselinya untuk sampai pada kesimpulan untuk berubah. Konseling rasional emotif, oleh penemunya disusun dengan beberapa konsep pokok yaitu, teori A-B-C, asal mula gangguan emosional, mengkonfrontasikan dan menyerang keyakinan yang irasional, dan menilai diri (self rating).




DAFTAR PUSTAKA

            Salahudin, Anas. 2016. Bimbingan & Konseling. Bandung: Pustaka Setia.
            Willis, H. Sofyan S. 2011. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung: Alfabeta.
            Kurnanto, Edi. 2014. Konseling Kelompok. Bandung: Alfabeta.







[1] H. Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2011),  hlm. 92.
[2] Anas Salahudin, Bimbingan & Konseling, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 61.
[3] Op. Cit, H. Sofyan S. Willis, hlm. 104-105.
[4] Ibid, hlm. 105.
[5] Ibid, hlm. 105-108.
[6] M. Edi Kurnanto, Konseling Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm. 66-67.
[7] Ibid, hlm. 67.
[8] Op. Cit, H. Sofyan S. Willis, hlm. 110-111.
[9] Op. Cit, Edi Kurnanto, hlm. 67-68.
[10] Ibid, hlm. 68.
[11] Ibid, hlm. 69-70.
[12] Op. Cit, H. Sofyan S. Willis, hlm. 111.
[13] Op. Cit,  M. Edi Kurnanto, hlm. 72-73.
[14] Ibid, hlm. 73.